DENDA sangsi/siksa

NOTULENSI
Kajian Online Ekonomi Syariah (KOIN EKSIS)
Forum Studi Ekonomi Syariah Tadulako (FIESTO)
Tema : “DENDA sangsi/siksa”
Waktu : Kamis, 30 November 2017, Pukul 20:00 WITA
Narasumber : Rifaldi Majid, SE
Moderator : Ukhti Alfian Novania Putri S.Ak

Hasil dan uraian pelaksanaan :
1. Pembukaan
Dibuka oleh admin grup, penyampaian peraturan grup & mengirim cv
moderator
2. Pembukaan oleh moderator
Moderator Ukhti Alfian Novania Putri S.Ak moderator membuka dengan
Bismillah, penyampaian mekanisme kajian online, kemudian mengenalkan
narasumber.
3. Penyampaian Materi
Penyampaian materi Oleh Akh. Rifaldi Majid, SE
Bismillah
Sebelumnya terima kaish kepada Notulis dan juga Moderator serta Keluarga
besar KSEI FIESTO yang sudah memfasilitasi acara ini ya.
Semoga bisa barokah dan manfaat kita dapat hingga akhirat. Aamiin.
*Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh*
Bismillah wash sholatu was salamu’ala rasulillah, wa ba’du
Alhamdulillah, kita panjatkan puji dan syukur, spesial teruntuk hanya kepada
Allah’azza wa jalla, Rabb Semesta Alam, pemberi riziki, pengatur jalannya kehidupan
dan termasuk di dalamnya adalah roda ekonomi ini.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyyina Muhammad
Shollallahu ‘alaihi wa sallam, tauladan yang non-fiksi (bukan fiktif), asli dan dapat kita ikuti jejaknya dalam menyebarkan Islam, termasuk Ekonomi Islam menuju peradaban
ummat yang diidamkan.
Selayaknya kita jadikan gerak dan terobosan Beliau dalam menyikapi semua
fenomena ekonomi yang ada, terutama masalah2 kontemporer yang kemduian muncul
di zaman ini.
Tanpa sumber/rujukan utama berupa dalil2 nash Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas para
ulama, maka semua bukanlah perkara yang ilmiah.
Bismillah, insya Allah malam ini, kita akan diskusi mengenai denda
apakah sanksi/siksa? Nah, yang kita bahas dan diskusikan pada malam ini adalah
khusus denda di bidang muamalah.
semoga diskusi kita barokah yaa. aamiin
Sering kita dapati pemberlakuan denda/sanksi dalam beberapa keseharian aktivitas
muamalah kita. Denda pun bahkan terkadang dinyatakan pada awal akad/perjanjian
dalam satu transaksi.
Pernahkah kita menyadari, atau bahkan menjadi subyek atas pemberlakuan denda
berikut?
1. Denda karena terlambat pembayaran hutang?
2. Denda karena telat bayar SPP? Atau bahkan denda karena terlambat datang syuro
tepat waktu?
3. Pernah membayar denda ketika re-sign dari perusahaan sebelum habis masa
kontrak?
4. Atau bayar denda atas keterlambatan penggunaan listrik dari PLN, air dari PDAM,
dll?
5. Pernahkah kita memberikan sanksi/denda bagi percetakan yang tidak bisa
menghadirkan total cetakan yang kita mau sesuai tanggal kesepakatan dalam akad?
Bolehkah denda demikian?
nah, inilah yang Insya Allah akan kita bahas.
karena bahasan ini adalah sangat berhubungan dengan fiqh (muamalah), maka saya
mohon diingatkan, tat kala salah atau keliru ya
Denda adalah istilah kita di Indonesia. Namun di dalam syariat, ada beberapa istilah yang terkait dengan denda ini, seperti:
1. Dam adalah denda yang dikenakan kepada orang yang tidak melaksanakan wajib haji
dengan menyembelih 1 ekor kambing atau berpuasa 10 hari.
2. Diyat adalah denda yang dikenakan kepada orang yang membunuh seorang muslim
tanpa sengaja, dengan membayar 200 ekor unta.
3. Kafarah adalah denda karena melakukan kesalahan, seperti sumpah palsu, dengan
memberi makan 10 orang fakir/miskin atau berpuasa 3 hari.
4. ‘Uqubah maaliyah adalah denda keuangan, atau kadang disebut dengan _al
gharamah_ dan termasuk di dalamnya adalah:
a. tilang karena melanggar aturan lalu lintas, dan ini boleh
b. karyawan memutus kontrak tanpa ridha pemberi kerja, dan ini boleh
c. syarth al jaza’I dalam bab hutang piutang. Nah, disinilah yang kemudian kita
akan membahas lebih lanjut.
(Ringkasan penjelasan dari Ustadz Dr. Imam Wahyudi, SE., MM pada sebuah
pertanyaan di grup Kajian Fiqh Muamalah)
denda no. 4 yang di bold itulah yang akan menjadi topik bahasan yang lebih dalam kita
bahas, yaitu syarth jaza’i.
Bagaimana jenis denda ini, bagaimana pula fatwa para ulama mengenai hal ini?
Pokok bahasan utama kita ada:
1. Denda dan kaidahnya dalam Muamalah
2. Fatwa Para Ulama Internasional Mengenai Syarth Jaza’i (Denda)
3. Pokok dan _Key Words_ Masalah Denda/Sanksi Terkait Muamalah (*syarth jaza’i*)
4. Diskusi
pokok bahasan kita ya 🙂
Monggo, saya kasih waktu 1 menit untuk mencermati 🙂
oke, kita lanjutkan
A. Denda dan kaidahnya dalam Muamalah
Persyaratan adanya denda sebagaimana dalam beberapa contoh di atas
diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.
Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema
bahasan kita pada edisi ini. Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan
hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki
titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan
persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat
(http://pengusahamuslim.com/1713-serbaserbi-denda.html)
1. Pendapat pertama, hukumnya terlarang kecuali ada persyaratan dibolehkan
syariat Pendapat kedua, sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali
ada dalil menunjukkan haram dan batalnya.
2. pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan
boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang
menunjukkan haram dan batalnya.
pendapat yang terkuat dalam hal ini adalah boleh dan halal, selama TIDAK ADA dalil
yang melarang. Jika ada dalil yang melarang, sorry to say, maka itu ndak boleh.
Jadi, patokan kita adalah dalil.
Berikut, landasan dan alasan dari :
a. pendapat yang membolehkan, dengan syarat tidak ada dalil yang melarang:
Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi
perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika
memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang
diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan
persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud
diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi
adalah dijalankan.
b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah
mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)
Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-
Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya
tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan. Pendapat inilah yang dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim.
Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua
bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu
atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya
adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-
belinya adalah sah.”
Ibnul Qayyim mengatakan,
“Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi
hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun
syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan,
karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah
disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu
Taimiyyah.”
Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat
transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar,
sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.
Mengapa demikian?
Karena denda dalam hutang-piutang adalah murni riba, yaitu riba jahiliyah
Hal ini jelas Sebagaimana para ulama merumuskannya dalam kaidah yang sangat
mahsyur dalam ilmu fikih, yaitu:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah
riba”
(baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 &
213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-
Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)
Readmore :

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba


B. Fatwa Para Ulama Internasional Mengenai Syarth Jaza’i (Denda
Berikut, kami lampirkan fatwa dari beberapa lembaga fikih yang
bernaung di dalamnya Ulama Internasional mengenai syart jaza’i:
1. Fatwa dari Majma’ fiqh Islami yang bernaung dibawah Munazhamah
Mu’tamar Islami. (hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi,
yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000.)
✓ Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang
mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak
didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang
diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat
dalam melaksanakan kewajibannya.
✓ Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh
keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan,
karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya
denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal
yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan
kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama
tidak ada kondisi tak terduga. Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu
pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan
pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith
(jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah
ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda)
apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian,
karena hal tersebut adalah riba yang haram.
✓ Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan
transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya
kerugian.
✓ Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk
transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba
senyatanya. Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam
transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal
tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau
memperbaiki jalan raya). Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah
pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak
kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula.
Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah
syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak
pengekspor. Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut
ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan
kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi,
tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat
pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan
ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk
pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.
✓ Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian
finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak
mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.
✓ Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa
inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak
diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak
yang inkonsisten dengan transaksi.
✓ Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan,
dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan
dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.
dua menit yang untuk membacanya 🙂 hehe
2. *Fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi (Semacam MUI Saudi Arabia, hanya saja
yang berkumpul disini ulama senior KSA) Secara ringkas, keputusan mereka
adalah sebagai berikut, ✓ Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar
dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk
inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.
✓ Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan
kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.
✓ Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat,
sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut
jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan
kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang
hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.
✓ Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada
keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya,
dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa`: 58.” (Taudhih
al-Ahkam: 4/253–255) Bahasan di atas terkait dengan ketentuan dan keputusan
fatwa lembaga fiqh internasional (majma’ fiqh Islami dan Haiah kibarul ulama
KSA) menjadi poin-poin acuan standar dan ketentuan teknis penyelenggaraan
denda.
* MUI Indonesia maksudnya, afwan.
C. Pokok dan Key Word Masalah Denda/Sanksi Terkait Muamalah (syarth jaza’i)
Berdasarkan fatwa dari Majma’ Fiqh al-Islami di atas, dapat kita jadikan
sebagai rujukan dalam menganalisis untuk menempatkan suatu denda yang
dimaksud dalam transaksi muamalah. Keputusan itu adalah sebagai berikut:
Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk
transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi
utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba
senyatanya.
ini bahasan terakhir kita nih 👆
Pertanyaan berikutnya, pahamkah kita transaksi mana saja yang termasuk dalam hutang-piutang?
Berikut contohnya dari transaksi utang-piutang:
1. Utang-piutang sebagaimana biasanya, ada tambahan bunga maupun tidak.
2. Jual barang tunai, pembayaran secara kredit/berangsur (ba’i taqsidh).
Contohnya pada akad murabahah.
3. Jual-beli dengan barang kredit (diserahkan kemudian di akhir) dan uang
dibayar dimuka tunai di depan. Contohnya pada akad salam.
4. Jual jasa tunai, pembayaran di akhir/pembayaran (pasca bayar). Misal, pakai
jasa dari PLN, dari PDAM, dll. Dalam hal ini jasa dipakai duluan, setelah
masa pakai jasa berakhir (misal sebulan), setelahnya pengguna jasa
membayar uang atas jasa, sehingga yang terjadi adalah hutang-piutang
Kesimpulan
Poin penting yang perlu kita cermatai adalah semua jenis transaksi yang masuk
dalam kategori 4 macam transaksi (utang-piutang) di atas, tidak boleh dikenakan denda,
karena denda yang timbul dari hutang-piutang adalah tambahan manfaat yang mana itu
adalah riba yang diharamkan.
Wallahu a’lam bis showwab
Jika ada koreksi, saya sangat terbuka untuk menerima 🙂
Semoga bermanfaat 🙂
Berikutnya, saya kembalikan kepada Moderator.
Alhamdulillah, semua bahasan sudah selesai 🙂
4. Sesi Tanya Jawab 30/11/2017:
Pertanyaan ke 1:
Hakim_IAIN Palu
Assalamu’alaikum
Yang ingin ay tanya terkait pembolehan denda beserta dalil tentang kewajiban tiap
muslim dalam melaksanakan kesepakatan yang telah dilakukan. Bukankah itu berarti
ada Tambahan/ziyadah berupa Denda bagi mereka yg melakukan transaksi.?? Lantas
apa maksud dalil tersebut yg menegaskan ttg kewajiban BG muslim untuk memenuhi kesepakatan tsb.?? Bukankah itu bentuk kezholiman BG mereka.?
Syukron😊😊
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
pertanyaan yang cerdas?
mana dalil dibolehkannya denda?
Pada dasarnya yang kita bahas adalah masalah muamalah, maka kita kembali kepada
kaidah dasar yang menyertainya:
“Asal dari semua mumalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya”
denda dalam Islam ada beberapa macam, hanya saja disebut dalam bahasa Indonesia,
semuanya namanya denda.
1. Dam adalah denda yang dikenakan kepada orang yang tidak melaksanakan wajib haji
dengan menyembelih 1 ekor kambing atau berpuasa 10 hari.
2. Diyat adalah denda yang dikenakan kepada orang yang membunuh seorang muslim
tanpa sengaja, dengan membayar 200 ekor unta.
3. Kafarah adalah denda karena melakukan kesalahan, seperti sumpah palsu, dengan
memberi makan 10 orang fakir/miskin atau berpuasa 3 hari.
4. ‘Uqubah maaliyah adalah denda keuangan, atau kadang disebut dengan _al
gharamah_ dan termasuk di dalamnya adalah:
a. tilang karena melanggar aturan lalu lintas, dan ini boleh
b. karyawan memutus kontrak tanpa ridha pemberi kerja, dan ini boleh
c. syarth al jaza’I dalam bab hutang piutang. Nah, disinilah yang kemudian kita
akan membahas lebih lanjut.
(Ringkasan penjelasan dari Ustadz Dr. Imam Wahyudi, SE., MM pada sebuah
pertanyaan di grup Kajian Fiqh Muamalah)
nah, denda yang kita kerucutkan pada bahasan kita adalah denda dalam transaksi
muamalah (hutang-piutang atau transaksi muamalah lainnya)
Semoga membantu 🙂
tidak semua denda adalah kedzoliman, kecuali denda dalam bahasan utang-piutang sebagaimana kita bahas dan kita utarakan fatwa dari Majma fiqh Al-Islamy di atas.
contoh, denda ketika tidak menggunakan helm di jalan raya, maka ini boleh.
Keputusan keempat dari Majma Fiqh Al-Islamy
Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain
transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena
persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.
Pernyataan 2 :
Nadya_UNWAHA Jombang
Mengenai pembahasan diatas saya ingin menanyakan tentang akad murabahah dan
akad salam. Apakah itu artinya ke dua akad tersebut tidak diperbolehkan?
Jawaban :
Bismillah
pertanyaan yang kritis, berarti menyimak sampai akhir ya.
telah kita bahas bahwa denda dalam transaksi hutang-piutang adalah riba, dan itu
haram.
mari kita simak, dua akad di atas:
1. Akad murabahah, umumnya akad ini dalam praktik adalah jual-beli yang
pembayarannya secara kredit. jika secara tunai, maka tidak mungkin ada denda,
hehe.
contoh:
A dtang ke LKS, A ingin beli motor dengan spesifikasi tertentu. Kemudian, oleh Si
LKS membeli motor sesuai pesanan yang dminta. Harga jual adalah 10 juta dibayar
selama 10 bulan (harga beli, 8 juta, misal). nah, disini, transaksi jual-beli yang
dilakukan secara kredit, maka ini termasuk hutang-piutang. jadinya, tidak boleh ada
denda dalam akad murabahah.
2. Akad salam
Salam: uang tunai di depan, barang menyusul di akhir. disni, ada yang tertunda,
sehingga jual-beli salam adalah jual-beli kredit (tidak tunai). olehnya, tidak boleh
ada denda atas keterlambatan penyerahan barang oleh si Pemesan barang. karena jika ada denda keterlambatan, maka itu adalah riba, dan riba adalah haram.
Wallahu a’lam
tunai (barang tunai, uang tunai)
hutang (salah satu barang atau uang tidak tunai, ada yang duluan ada yang
belakangan salah satunya). yang tidak boleh adalah jual-beli hutang dengan hutang
(kali bi kali, dayn bi dayn) ini haram.
Pertanyaan 3 :
Sabrina_UNTAD_Tanya Kajian
Terima kasih atas kesempatan yg diberikan kepada saya,,, baiklah yang ingin sya
tanyakan,,,
1. Bagaimn jika seseorang meminjam uang dengan ketentuan si peminjam sendiri yang
menawarkan bunganya?
2. Bagaimna hukumnya kita meminjamkan uang kepada seseorng yng berbeda agama?
Syukron
Jawaban :
Bismillah.
1. Dan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
“Kaum Muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati, kecuali
syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang
haram”
Allah telah jelas dan gamblang mengharamkan riba dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275,
maka dari itu persyaratan di atas adalah rusak/fasid/tidak terlaksana.
sebagai analoginya seperti ini:
Seseorang secara suka rela melakukan zina dg lawan pasangannya yang tidak halal,
apakah lantas zina menjadi halal? laa.
2. Hukum Allah tetap berjalann dimanapun kita berada. demikian pula dalam masalah
muamalah, riba tetap diharamkan, sekalipun kita bertransaksi/bermuamalah dengan
non-muslim. jika kita bermuamalah dengan mereka, wajib bagi mereka yang mengikuti syariat kita, bukan sebaliknya. Rasululullah shollallahu ‘alaihi wa sallam,
dahulu pernah bermuamalah dan menggadaikan baju besinya kepada seorang
yahudi, dan itu sah2 saja.

6. Sepatah Kata Dari Pemateri :
Bismillah, untuk kita bersama:
1. Teruslah belajar, belajar ilmu syar’i.
2. Anda Ekonom Robbani? buktikan, keep spirit to study hard!.
3. Dengan atau tanpa kita, ekonomi syariah ini pasti bangkit dan berjaya. pastikan kita punya “saham” dalam pembumiannya. pastikan, cara dan metode yang kita
gunakan adalah dengan saluran yang tepat, cara dan tujuan halal. karena apa?
jangan sampai cara2 kita yang tidak syar’i, malah menjadi boomerang bagi
dakwah Ekis.
4. Muamalah bukanlah dilihat dari “nama” atau “label” melaikan dilihat dari
“substansi/hakikat/maksud/tujuan”, nah itulah yang kita tanamkan!
5. Semoga kedepan, kita bisa menjadi the real ekonom Robbani, kalau misal kita
belum merasaakannya, biarlah anak-cucu kita yang merasakan manisnya
Ekonomi Syariah ini.
6. Mari bersama berpegang teguh di atas qur’an dan sunnah yang shohih
sebagaimana dipahami Rasulullah dan para sahabatnya.
dan terakhir.
Kuatkan tekad, siapkan diri, mantapkan hati, dan mari bersama bangun
ekonomi yang robbani.

Tinggalkan komentar